Rabu, 04 April 2012

Tokoh Pejuang Papua Merdeka Menuntut Tanggung Jawab PBB

Artikel

Politik

Gerry Setiawan

TERVERIFIKASI

Jadikan Teman | Kirim Pesan
aktivis jaringan epistoholik jakarta (JEJAK)

Tokoh Pejuang Papua Merdeka Menuntut Tanggung Jawab PBB


REP | 12 January 2012 | 05:14 Dibaca: 464   Komentar: 4   3 dari 3 Kompasianer menilai aktual

132631983877944699
Lambert Pekikir, Pemimpin TPN/OPM wilayah perbatasan RI-PNG, dua hari lalu menyerukan kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk segera mengagendakan pembahasan kemerdekaan Papua dalam Sidang Umum PBB tahun ini.
“Perjuangan terus kita lakukan, waktu terus berjalan tetapi perjuangan juga ikut berjalan seiring waktu, untuk tahun ini, pejuang-pejuang Papua Merdeka di luar negeri sedang mendorong agar pertikaian Papua bisa menjadi salah satu agenda pembahasan di PBB, ini membuktikan bahwa, perjuangan kami terus berjalan, apapun halangan dan rintangannya, perjuangan tetap dijalankan demi Papua merdeka,” ujar Lambert di Papua pada 10 Januari 2012 sebagaimana dikutip sebuah media lokal.
Beberapa hari sebelumnya, Salah satu Advokat HAM Papua, Yan Christian Warinussy mengingatkan, rakyat Papua untuk tidak perlu takut berbicara tentang Papua Merdeka sejak sekarang ini. Karena soal Papua Merdeka adalah soal HAM yang diakui secara legal dan dapat diperjuangkan pula secara legal, demokratis dan politik secara universal. Menurutnya, mulai soal Papua Merdeka sebagai aspirasi politik mayoritas rakyat Papua haruslah diperjuangkan secara damai, bermartabat, demokratis dan melalui mekanisme hukum dan politik yang bersifat universal.
Berangkat dari pernyataan kedua tokoh di atas, saya mencoba menelaah sejumlah referensi untuk menjawab sebuah pertanyaan penting : masih mungkinkah Papua dipisahkan dari NKRI secara legal, demokratis, dan politik secara universal dimaksud?
Sebagaimana sudah sering diulas, bahwa atas upaya Sekjen PBB, akhirnya Belanda dan Indonesia menandatangani New York Agreement (NYA) pada tanggal 15 Agustus 1962 yang memuat road map penyelesaian sengketa atas wilayah Papua/Irian Barat. Lima hari kemudian ( 20 September 1962) dilakukan pertukaran instrumen ratifikasi NYA tersebut antara Indonesia dan Belanda tetapi pertukaran tersebut tidak menjadikannya otomatis berlaku karena adanya pihak ketiga yang terlibat yaitu PBB. Persetujuan bilateral ini diterima oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 yang mulai berlaku 21 September 1962.
Pada momentum penyerahan kekuasaan Belanda atas wilayah Irian Barat kepada UNTEA (sebagai mana isi NYA) Wakil Gubernur H. Veldkamp mengatakan : “Mulai saat ini, akibat persetujuan internasional yang berhubungan dengan itu, maka tanah dan bangsa Nieuw Guenea Barat telah ditempatkan di bawah kepemerintahan yang baru : penguasa sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedaulatan Netherlands atas tanah ini telah berakhir. Tibalah suatu jangka waktu yang baru, jangka mana berlangsung sampai pada saat pertanggungjawaban atas pemerintahan diserahkan kepada Indonesia sepenuhnya”.
Maka sejak itu, sesuai azas uti possidetis juris kedaulatan Negeri Belanda atas wilayah jajahannya di Papua (Irian Barat) yang dikuasainya sejak tahun 1828 di bawah administrasi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, berakhir sudah, dan diserahkan kepada pemerintahan baru : UNTEA.
Dan ini berarti pula bahwa jika benar Belanda telah terlebih dahulu memerdekaan West New Guinea (Irian Barat) pada tahun 1961 atau tahun berapapun itu, dengan sendirinya TERBANTAHKAN oleh perjanjian New York (NYA) dan Resolusi PBB No. 1752 tersebut.
Resolusi PBB No. 2504 Sebagai Bentuk Pengakuan PBB atas Hasil PEPERA
Pelaksanaan PEPERA adalah bagian tak terpisahkan dari isi Persetujuan New York yang sudah dikukuhkan dengan Resolusi PBB 1752 dibawah pengawasan UNTEA. Hasil akhir dari pelaksanaan PEPERA sebagaimana tersurat dalam berbagai dokumen resmi PBB, adalah semua peserta PEPERA memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasilnya pun diberitahukan kepada Belanda.
Untuk mengukuhkan hasil akhir PEPERA tersebut, lagi-lagi harus melalui mekanisme Majelis Umum PBB. Berdasarkan hasil pembahasan Majelis Umum PBB tanggal 19 November 1969, 6 (enam) negara mengusulkan untuk mengeluarkan Resolusi 2504 untuk mengukuhkan hasil pelaksanaan PEPERA di Irian Barat. Resolusi tersebut diterima oleh Majelis Umum PBB dengan imbangan suara 84 Setuju, 30 abstain, dan tak satu suarapun yang menentang.
Dalam Resolusi 2504 tersebut disebutkan bahwa, “Takes note of the report of the Secretary General and acknowledges with appreciation the fulfillment by the Secretary General and his representative of the tasks entrusted to them under the agreement of 15 August 1962 between the Republis of Indonesia and The Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian).
Menuntut Tanggung Jawab PBB ?
Kembali ke topik awal, apakah PBB dapat dituding sebagai tidak bertanggung jawab atas integrasi Irian Barat ke dalam NKRI?
Menilik proses panjang berlangsungnya konflik Indonesia-Belanda atas wilayah Irian Barat (Papua) serta mekanisme penyelesaian yang telah ditempuh, rasa-rasanya TIDAK ADA CELAH untuk menyalahkan PBB. Jika di zaman demokrasi modern ini para aktivis Papua mempertanyakan mengapa prinsip one man one vote tidak digunakan dalam pelaksanaan PEPERA, saya kira pertanyaan yang sama pernah diutarakan Belanda dalam Sidang Majelis Umum 19 November 1969 itu. Jika ada pelanggaran secara prinsipil, tentu Belanda sudah melakukan protes kala itu.
Jika para aktivis Papua saat ini masih tetap ngotot menunut pelaksanaan REFERENDUM, tentu langkah pertama yang harus ditemput adalah harus MEMBATALKAN Resolusi Mejelis Umum PBB No. 2504 tersebut. Perlu digaris-bawahi bahwa Resolusi PBB 2504 itu merupakan penegasan pengakuan PBB atas KEDAULATAN NKRI, termasuk Irian Jaya di dalamnya.
Selama ini PBB belum mengenal judicial review terhadap Resolusi yang dikeluarkannya. Selain itu, PBB merupakan organisasi dimana anggotanya adalah negara, sehingga tidak mungkin sebuah gerakan (movement) atau Lembaga Swadaya Masyarakat meminta peninjauan kembali atas sebuah Resolusi PBB.
Justru sebaliknya, PBB bisa saja membatalkan proklamasi sepihak atas berdirinya sebuah negara baru. Ini sudah pernah dilakukan PBB pada tahun 1965 atas Rhodesia. Waktu itu terjadi deklarasi sepihak atas kemerdekaanwilayah Rhodesia oleh kelompok-kelompok pemberontak. PBB kemudian mengeluarkan sebuah Resolusi yang menolak keabsahan secara hukum atas deklarasi kemerdekaan tersebut. Dalam resolusi tersebut, PBB meminta Negara-negara anggota PBB untuk tidak mengakui proklamasi kemerdekaan kelompok pemberontak Rhodesia itu.
Sejalan dengan kejadian di atas, Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 yang mengukuhkan hasil pelaksanaan PEPERA adalah sah secara prinsip-prinsip hukum internasional, sehingga keberadaan Irian Barat (Papua) sebagai bagian integral dari wilayah KEDAULATAN NKRI adalah final.
Share  
KOMENTAR BERDASARKAN :
Tulis Tanggapan Anda
Guest User

<a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=afab7256&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=345&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=afab7256' border='0' alt='' /></a>

Subscribe and Follow Kompasiana:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar